Perombakan Pendidikan dan Sekolah Gratis
Y. Nugroho Widiyanto
Dosen FKIP Unika Widya Mandala Surabaya
Perlu ada perombakan besar-besaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita,” demikian diungkapkan Presiden Joko Widodo, Rabu (5/10).
Jagat perpolitikan dan pendidikan Indonesia geger pada awal 2000-an saat Bupati Jembrana Gede Winasa meluncurkan program sekolah gratis. Tindakan populis yang out of the box ini menjadi buah bibir di semua kalangan dan memberikan keuntungan politik kepadanya untuk menjabat dua periode. Akibatnya, langkah itu sudah diikuti sebagian besar calon dan petahana pimpinan daerah lain. Setelah lebih dari 15 tahun program populis ini menjadi “standar” kampanye sehingga sering kali sudah kehilangan magnetnya, ada beberapa hal penting perlu dikaji ulang.
Kalau kita mengacu pada pendidikan gratis di negara-negara kesejahteraan (welfare states), sekolah gratis itu meliputi hampir semua aspek sekolah. Orangtua murid tak hanya dibebaskan dari kewajiban membayar sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dan berbagai pungutan kepada orangtua/komite sekolah untuk membantu pelaksanaan pendidikan. Bahkan, anak-anak juga mendapat berbagai layanan gratis, mulai dari transportasi/bus sekolah, sarapan dan makan siang, buku pelajaran dan sarana pendidikan lain, kegiatan ekstrakurikuler, sampai segala kegiatan di luar sekolah, seperti studi tur, lomba-lomba/pertandingan olahraga dan seni yang mendukung aspek pendidikan.
Karena itu, praktik sekolah gratis masih jauh dari hal yang ideal dibandingkan dengan negara-negara maju tersebut. Walaupun demikian, kita tentu sangat menghargai bahwa setidaknya sudah ada upaya politik dari pemangku kekuasaan untuk memberikan dana APBD ke sektor pendidikan yang merupakan salah satu pilar terpenting pembangunan bangsa. Hanya saja, sayang kalau para politisi sudah tidak melihatnya kehilangan magnet karena masih banyak hal yang bisa dikembangkan dari sekolah gratis ini.
Di negara-negara maju, sekolah gratis hanya diperuntukkan bagi sekolah negeri (public schools) karena merekalah yang biasanya diakses orang miskin. Mengingat negara menganut asas sekularitas di mana ada pemisahan yang tegas antara agama dan pemerintahan, sekolah-sekolah negeri tersebut tidak mendapatkan pelajaran agama. Keinginan orangtua dari kelas menengah- atas yang menginginkan anak- anak mereka mendapatkan pelajaran agama dan disiplin yang tinggi dipenuhi oleh sekolah-sekolah swasta (baca: sekolah Kristen).
Di sinilah pilihan itu dibuat oleh orangtua: sekolah gratis tetapi tak mendapatkan pelajaran agama dan jejaring yang bagus atau sekolah swasta yang berbayar tetapi menawarkan kelebihan yang dibutuhkan siswa untuk hidup pada masa mendatangnya.
Populis Tapi Salah Sasaran
Praktik sekolah gratis di Indonesia juga mengadopsi hal yang sama di mana fasilitas itu diberikan kepada sekolah-sekolah negeri. Di sinilah program sekolah gratis di Indonesia salah sasaran seperti program subsidi BBM zaman dulu. Dulu, atas nama rakyat kecil, mahasiswa menginginkan subsidi BBM diteruskan tanpa melihat kenyataan bahwa sebagian besar subsidi BBM sebenarnya justru dinikmati oleh orang kaya.
Hal yang mirip juga terjadi pada subsidi pemerintah untuk membuat sekolah gratis. Jumlah sekolah negeri, terutama di tingkat sekolah menengah, sangat terbatas untuk menjangkau segenap lapisan masyarakat sehingga sekolah negeri melaksanakan seleksi masuk sesuai jumlah kursi yang tersedia.
Siapa yang paling diuntungkan dengan sistem free fight liberalism ini? Tentu keluarga dari kelas menengah ke atas! Anak-anak dari kelas menengah mendapatkan gizi yang jauh lebih baik, tinggal dalam lingkungan yang nyaman dan fasilitas memadai. Mereka tidak diminta untuk membantu orangtua dalam mencari nafkah dan masih mendapatkan tambahan belajar dari kursus berbayar. Tentu saja mereka akan bisa mengalahkan anak-anak dari keluarga miskin.
Apalagi, atas alasan akuntabilitas, pihak sekolah negeri juga melaksanakan seleksi lewat proses di internet. Orangtua dari kelas miskin pasti sangat tidak diuntungkan karena seorang penarik becak mungkin belum pernah tahu komputer itu seperti apa, apalagi mampu mengoperasikannya. Tak heran dengan sistem ini sebagian besar siswa di sekolah negeri justru berasal dari kelas menengah ke atas.
Di situlah asas keadilan (ekuitas) ini tak diperhatikan. Fungsi pemerintah dalam menyalurkan dana APBN/APBD yang mestinya untuk kelompok marjinal justru dinikmati kelompok kelas menengah atas. Mirip dengan program subsidi BBM yang sudah dihapuskan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Solusi Alternatif
Organisasi bergengsi OECD (Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) di mana kita juga menjadi anggotanya selalu mengingatkan dilema antara kualitas dan ekuitas/keadilan (OECD, 2012). Di satu sisi, pemerintah harus menyediakan pendidikan berkualitas lewat sekolah negeri yang diasuhnya, di sisi lain-ini yang jauh lebih penting-sebenarnya pemerintah harus memberikan akses yang lebih besar kepada mereka yang kurang beruntung.
Berkaca pada salah sasaran program subsidi BBM, subsidi sekolah dalam wujud sekolah gratis mestinya harus mengacu pada sasaran yang dituju, yaitu individu dari keluarga miskin, bukan institusi, yaitu sekolah negeri. Selama ini, dana pemerintah disalurkan ke sekolah negeri sehingga siapa pun siswa yang ada di sekolah itu akan menikmatinya. Mestinya dana itu disalurkan kepada individu yang membutuhkan seperti pada program Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun, tampaknya pemerintah ingin mengedepankan kualitas dengan membuat sekolah negeri sebagai model dari pendidikan berkualitas atauquality lebih penting daripada equity.
Setidaknya ada dua pilihan yang bisa dilakukan pemerintah agar sekolah gratis ini tepat sasaran. Pertama, mempertahankan kualitas sekolah negeri dengan menerima pelajar terbaik dari kalangan mana pun, tetapi fasilitas gratis hanya diberikan kepada keluarga miskin yang lolos seleksi masuk. Anak-anak dari kelas menengah ke atas yang bersekolah di sekolah negeri harus membayar sesuai dengan “harga dasar” yang dibebankan kepada siswa di sekolah swasta elite.
Dana SPP dari keluarga menengah ke atas ini dapat dipakai untuk mendukung fasilitas sekolah sehingga sekolah negeri tidak bergantung pada APBN/APBD. Dana APBN/APBD tersebut kemudian diberikan pada sasaran anak/individual, di mana pun dia bersekolah, baik di negeri maupun di sekolah swasta dan pesantren miskin. Dengan demikian, dana tersebut akan tepat sasaran.
Alternatif kedua, sekolah gratis tetap diberikan kepada sekolah negeri seperti saat ini tetapi sekolah negeri harus memberikan sebagian besar kursinya (70 persen) bagi anak-anak dari keluarga miskin, sementara sisanya dipakai oleh anak-anak berprestasi. Baik anak yang bersekolah di negeri karena faktor sosial ekonomi keluarga (equity) maupun karena prestasi (quality) diharapkan mendapatkan fasilitas gratis seperti di negara-negara kesejahteraan. Dengan demikian, sekolah negeri tetap bisa menjadi model atau contoh sekolah berkualitas bagi sekolah swasta, tetapi dana subsidi tetap tepat sasaran karena diberikan kepada kelompok marjinal dan kelompok siswa berprestasi.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 11 Oktober 2016.