,

Memikat Generasi Cerdas & Kreatif Menjadi Guru

Usaha pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pendidikan lewat peningkatan harkat dan martabat guru pantas dihargai. Kini para guru yang bersertifikasi mulai bisa tersenyum dengan membaiknya pendapatan mereka.

yohaneswidi

 

Yohanes N Widiyanto M.Ed.

Dosen FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya. Sedang menyelesaikan S-3 di Ohio State University, Columbus, Ohio, AS

Kebijakan terhadap guru yang sedang bertugas ini (in-service teachers) harus diiringi langkah yang konkret terhadap para calon guru (pre-service teachers). Puluhan tahun profesi guru jadi profesi yang tidak menarik para generasi cerdas dan berbakat karena tak adanya jaminan kesejahteraan bagi mereka. Tantangan memikat siswa SMA/K terbaik sebagai calon guru semakin berat apabila kita tidak paham ciri khas mereka yang diidentifikasi sebagai generasi Y dan Z.

Wacana tentang perbedaan generasi (baby boomers, X, Y, dan Z) memang menunjuk pada situasi di Amerika Serikat sehingga tidak sungguh-sungguh menggambarkan kondisi di Indonesia. Akan tetapi, pengaruh globalisasi yang sangat kuat membuat wacana ini juga menampakkan wajahnya dalam diri para generasi muda kita walaupun mungkin terjadinya ”terlambat” satu dekade sesudahnya. Di negara asalnya, generasi Z adalah generasi yang lahir pasca-1996, sedangkan generasi Y lahir pada 1981-1995.

Kenneth Young (2009) menyarikan ciri khas generasi Y dan Z dibandingkan generasi sebelumnya sebagai berikut. Generasi ini sangat dipengaruhi keberadaan internet. Bahkan, generasi Z digambarkan sebagai digital native, di mana mereka sudah akrab dengan dunia digital sejak masih usia dini. Sudah jamak terjadi, sejak belum mengenal baca tulis (literasi) sekalipun mereka sudah memainkan gadget-gadget digital dalam bentuk video game saat mereka menunggu naik pesawat atau dalam perjalanan di mobil.

Salah satu ciri khas mereka adalah kemampuan melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu bersamaan. Misalnya, saat mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, mereka mencari informasi lewat internet sambil mendengarkan musik lewat iPod dan sesekali memperbarui status mereka di Facebook atau Twitter atau memberikan komentar pada status teman mereka. Tidak heran apabila saat berselancar di dunia maya mereka membuka begitu banyak laman dalam waktu bersamaan.

Dalam soal kerja, generasi ini sangat menyukai tantangan. Mereka ulet dan sangat menghargai kepemimpinan yang kolaboratif. Kalau Anda ingin membuat mereka termotivasi dalam kerja, pesan yang mereka inginkan adalah: ”Anda akan bekerja bersama dengan rekan lain yang cerdas dan kreatif seperti Anda”.

Perlu tantangan

Dengan karakteristik seperti ini, sejauh mana profesi guru bisa memikat mereka?

Seiring dengan perbaikan kesejahteraan guru, ada potensi untuk memikat bagian terbaik dari generasi Y dan Z ini jadi calon guru. Akan tetapi, tanpa usaha sejumlah pihak, jangan salahkan kalau generasi guru mendatang hanya akan diperebutkan oleh calon guru kelas dua atau mereka yang sekadar mencari aman sehingga tak memiliki usaha maksimal untuk mengembangkan diri dan profesinya.

Pihak yang paling dekat dalam memikat para calon guru ini adalah para guru itu sendiri. Menjadi pertanyaan besar: apakah para guru juga beradaptasi dengan karakteristik siswa yang mereka ajar ataukah masih bersikeras memakai cara dan alat dari ”zaman batu” dalam menyampaikan pengajaran di kelas? Apakah para guru masih fobia akan teknologi dengan hanya menggunakan papan tulis dan kapur dan tidak memperkaya dalam menggunakan alat peraga semacam powerpoint atau smart board?

Juga, apakah para guru hanya menggunakan buku pegangan dalam mengajar dan memberi pekerjaan rumah, ataukah meminta siswa menggunakan internet sebagai sumber informasi yang kaya? Apakah para guru juga berkomunikasi dengan siswa dan orangtua siswa lewat blogging atau microblogging sehingga siswa merasa jadi bagian dari komunitas yang dibangun para guru tersebut di luar batas-batas tembok ruang kelas? Keterampilan guru dalam memanfaatkan fasilitas digital dalam proses belajar-mengajar sehari-hari akan membuat para digital native ini merasa tertantang untuk menekuni profesi ini, yang memberi keleluasaan kepada mereka untuk tumbuh dan berkembang.

Pihak kedua yang paling bertanggung jawab: lembaga pendidikan tenaga kependidikan, negeri maupun swasta, yang menyiapkan calon guru. Para pengelola harus menampilkan wajah percaya diri bahwa lembaganya menampung putra-putri terbaik. Pembedaan jalur kependidikan dan non-kependidikan pada seleksi masuk PTN harus dihapus karena tanpa sadar menomorduakan para calon guru.

Pengelola di PTS juga harus berani menerima mahasiswa baru dalam jumlah kecil tetapi berkualitas daripada asal menerima siapa pun demi mendapat uang dari mahasiswa. Semakin mudah proses untuk menjadi calon guru, semakin tidak menarik profesi ini bagi generasi ini.

Pihak ketiga adalah pemerintah dan DPR yang menyiapkan peraturan dan anggaran untuk sektor pendidikan. Sudah saatnya profesi ini ditantang untuk bersaing dengan sehat. Kesempatan untuk studi lanjut, penambahan fasilitas sekolah, bahkan bonus atau hadiah harus diperebutkan dan tidak sekadar diobral. Para generasi Y dan Z harus diyakinkan bahwa impian mereka pelesir ke luar negeri atau membeli gadget iPod terbaru bisa diwujudkan lewat profesi guru asal ulet dalam meraihnya.

Artikel ini juga dipublikasikan di Kompas.com