
Guru Bersertifikasi, di Mana Dikau?
Saat tahap awal proses sertifikasi, ada rasa skeptis yang mendalam dari kalangan guru akan kemampuan pemerintah memberi tunjangan sertifikasi.
Hal itu diungkapkan dengan gurauan bahwa para guru nanti akan dibayar dengan ”yen”. Bukan ”yen” mata uang Jepang, tetapi ”yen” dalam bahasa Jawa yang berarti ”jika” sehingga muncul sejumlah prasyarat seperti ”jika pemerintah ada dana” atau ”jika Indonesia tidak bangkrut”.
Yohanes N Widiyanto M.Ed.
Dosen FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya. Sedang menyelesaikan S-3 di Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
Sekarang pemerintah sudah membuktikan tunjangan sertifikasi tersebut bukanlah sekadar utopia. Pertanyaannya sekarang: apakah guru sudah menunjukkan ”balas budi” dengan peningkatan kinerja sesuai tujuan utama pemberian tunjangan sertifikasi ini? Apakah kebijakan ini akan bernasib sama dengan tunjangan khusus hakim dan aparat Kementerian Keuangan yang tetap saja tak bisa memerangi mafia hukum dan mafia pajak?
Pernyataan pemangku kepentingan di berbagai media menunjukkan rasa tidak puas atas kinerja guru yang bersertifikasi. Mereka tidak menunjukkan perubahan yang mendasar dibandingkan guru yang masih belum bersertifikasi. Sayangnya sampai sekarang belum ada mekanisme yang jelas bagaimana kinerja ini dipantau, selain ”ancaman” bahwa nanti akan ada evaluasi yang akan ”mencabut” tunjangan sertifikasi apabila para guru tidak menunjukkan kinerja yang baik.
Daripada menunggu evaluasi dari pemerintah, guru sebaiknya kembali merenungkan bahwa esensi profesionalisme adalah sebuah tindakan dari dalam, bukan sesuatu yang dipaksa dari luar. Seorang profesional harus akuntabel bagi para pemangku kepentingan, tidak sekadar pernyataan kosong atau selembar ijazah dan sederet gelar.
Empat pilar
Akuntabilitas guru bisa dilihat dari empat pilar profesionalisme guru seperti sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Guru.
Pilar pertama, kemampuan profesional. Walaupun guru sudah tidak ditempatkan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, hal ini tidak jadi alasan bagi guru untuk tidak menguasai materi pelajaran.
Laporan Bank Dunia (2010) masih menunjukkan kemampuan penguasaan materi guru sungguh memprihatinkan. Para guru yang dites mata pelajaran yang diajarkan mendapat nilai rata-rata 50, artinya banyak yang nilainya di bawah 50. Tak mengherankan para guru yang menjadi pengawas UN disinyalir ”membantu” siswa saat ujian karena mereka sendiri tidak keras pada diri sendiri.
Para guru SBI dan RSBI yang semestinya jadi teladan juga memprihatinkan dalam tes standar bahasa Inggris, di mana masih banyak yang berada pada level pemula. Sungguh menggelikan kalau mereka diharapkan mengajar dalam bahasa Inggris sementara kemampuan bahasa Inggris dasarnya masih rendah.
Pilar kedua kemampuan pedagogis. Sudah rahasia umum bahwa para guru adalah ”raja” di kelasnya. Para pemimpin sekolah sering kali sibuk urusan administrasi dan proyek yang sangat menyita perhatian dan waktu sehingga supervisi kinerja guru di kelas tak jadi prioritas. Satu-satunya ”pengawas” kinerja guru adalah siswa yang tiap hari merasakan bagaimana para guru tumbuh dalam kemampuan mengajar. Tetapi, suara mereka tak lebih dari sekadar gosip di kantin mengingat ”nasib” siswa ditentukan oleh nilai dari para guru.
Tunjangan sertifikasi semestinya digunakan para guru untuk membeli buku-buku yang bermutu atau mengembangkan materi pembelajaran yang menarik dan terbaru. Ironisnya, bukannya membangun profesionalitas, tunjangan sertifikasi hanya mengubah gaya hidup artifisial guru.
Pilar ketiga kepribadian. Sering kali kepribadian yang baik disejajarkan dengan ketaatan beragama. Meskipun agama bisa membentuk akhlak mulia, para guru harus lebih mengejar nilai yang esensial seperti kejujuran dan penghormatan kepada siswa sebagai pribadi daripada berkisar pada cara berpakaian siswa atau kegiatan ritual keagamaan.
Pilar keempat adalah sisi sosial. Para guru harus peka pada isu-isu mutakhir di masyarakat. Para guru harus mau menyisihkan uang untuk berlangganan koran dan internet atau melihat berita televisi daripada sinetron.
Dengan punya kepedulian sosial tinggi, guru bisa berwawasan luas. Laporan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menyatakan, kecenderungan para siswa menyetujui aksi radikalisme ternyata berbanding lurus dengan persepsi para guru agama yang juga berwawasan sempit dan tidak menghargai toleransi atas pemeluk agama lain.
Para guru harus turut menjaga keempat pilar kebangsaan kita: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan kebinekaan kita. Kalau tidak, ke mana lagi kita berharap sementara para tunas bangsa kita menghabiskan hampir setengah waktu aktifnya setiap hari bersama para guru?
Para pemangku kepentingan pendidikan harus ikut mengawal perjalanan para guru ini, mengingat betapa besar alokasi anggaran negara untuk perbaikan hajat hidup para guru. Para guru, terutama yang bersertifikasi, harus sadar bahwa setiap rupiah yang mereka dapatkan adalah keringat para pembayar pajak yang menginginkan anak-anak mereka dididik dengan profesionalisme yang tinggi. Bila guru bersertifikasi tak makin profesional, sungguh sangat memalukan.