Menumbuhkan Pekerti Demi Indonesia #3 (Habis)
Target Penumbuhan Budi Pekerti
Dalam “Tesaurus Bahasa Indonesia” (Endarmoko, 2006) kata pekerti (kata benda) diartikan sebagai akhlak, etik, karakter, kepribadian, kesusilaan, moral, perangai, tabiat, tata susila, watak. Kemudian, kata karakter (kata benda) diartikan sebagai bawaan, hati, kepribadian, budi pekerti, perangai, perilaku, personalitas, reputasi, sifat, tabiat, temperamen, watak, jiwa, roh, semangat. Dan, kata budi pekerti (kata benda) diartikan sebagai adab, akhlak, etika, moral, perangai, susila, tabiat, watak. Jika dicermati, maka kata pekerti, budi pekerti, dan karakter memiliki kaitan semantis, atau ketiga kata tersebut bersinonim satu sama lain. Berdasarkan definisi tersebut, dapatlah dipahami bahwa pekerti atau budi pekerti itu berkaitan dengan watak, sifat, tabiat, dan perilaku seseorang berdasarkan nilai-nilai (moral) spiritual, sosial, dan budaya.
Penulis: Dr. V. Luluk Prijambodo, M.Pd. adalah Doktor dalam bidang Pendidikan Bahasa Inggris, dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP dan Magister Pendidikan Bahasa Inggris Program Pascasarjana Unika Widya Mandala Surabaya, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur, dan Asesor SMK pada Badan Akreditasi Sekolah/Madrasah Provinsi Jawa Timur.
Sebagai negara bangsa yang besar, merawat Indonesia melalui penumbuhan pekerti tak akancukup bila hanya dilimpahkan kepada beberapa kelompok warga bangsa saja, misalnya kepada para guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan sebagainya. Oleh karena Indonesia itu adalah rumah kita bersama, maka merawat Indonesia menjadi tanggungjawab bersama kita. Merawat Indonesia membutuhkan kemesetaan kita. Merawat Indonesia harus dilakukan secara masif, sistemik, dan holistik. Seluruh lapisan warga bangsa harus terlibat secara aktif.Untuk itu, marilah kita bersama-sama menumbuhkan pekerti masing-masing demi merawat Indonesia tercinta.Pola pendidikan karakter yang selama ini terjadi searah, dari guru kepada siswa, dari orang tua kepada anak, dari pemimpin negara kepada rakyatnya, harus disempurnakan. Memang benar, penumbuhan pekerti dapat dilakukan secara formal melalui pembelajaran di sekolah, nonformal melalui pergaulan hidup di masyarakat, dan informal melalui pendidikan dalam keluarga. Namun demikian, pola vertikal top-down demikian tidak efektif karena acapkali tidak sedikit di antara mereka yang ditugasi melaksanakan pendidikan karakter hanya melakukannya secara retoris, ceramah, tanpa disertai keteladanan.Padahal, penumbuhan pekerti itu membutuhkan keteladanan, contoh nyata perilaku yang baik, oleh karena hasil akhir penumbuhan pekerti itu ialah bertumbuhnya karakter diri yang luhur, yang tercermin pada pola berpikir, bertutur dan bertindak sesusai nilai-nilai luhur kebangsaan.
Siapakah yang dapat memberi ketaladanan dalam berperilaku itu? Siapa yang saja yang telah berpekerti baik dapat memberi keteladanan berperilaku yang baik kepada sesama yang membutuhkan. Oleh karena dilakukan secara masif, sistemik, dan holisitik, penumbuhan pekerti akan menjadi efektif.Dengan kata lain, penumbuhan pekerti dilakukan oleh seluruh warga bangsa, secara serempak, terus-menerus, dan secara vertikal maupun horizontal.
Dalam konteks keluarga, orang tua dituntut menjadi role-model bagi putra-putrinya. Anak yang lebih tua harus bia menjadi teladan bagi adik-adiknya. Tidak menutup kemungkinan, bagi puta-putri yang telah beranjak dewasa dan memahami banyak hal tentang kehidupan melalui proses pembelajaran di sekolah atau perkuliahan di kampus, dapat menjadi sumber belajar bagi orangtua mereka. Dengan demikian, proses keteladanan vertikal dapat berlangsung secara dua arah, top-down maupun bottom-up.
Dalam konteks sosial yang lebih makro (di masyakat, di sekolah, dan di kantor), keteladanan resiprokal/berbalasan dapat diterapkan. Tetangga, teman sebaya, teman sekolah/kuliah, kolega/sejawat, bisa saling memberi keteladanan, saling mengingatkan dan menguatkan untuk berpelerti yang luhur. Dalam konteks demikian, keteladan dapat berlangsung multi arah, baik secara vertikal (bersifat top down dan bottom up) maupun horizontal. Demikian pula, dalam konteks sistem ketatanegaraan (sistemik), para pemimpin dan politisi di pusat maupun di daerahharus menjadi role-model bagi warga bangsa. Diminta atau tidak, mereka harus selalu berupaya untuk bertindak benar. Janganlah mereka sekali-sekali menasehati warganya untuk bertindak benar bila mereka belum melakukannya. Janganlah mereka menceramahi warganya bila apa yang diceramahkannya tak lebih dari sebuah retorika.
Bila terjadi bahwa sang pemimpin tak bisa menjadi teladan bagi warganya, biarlah berlaku keteladanan bottom-up. Biarlah warga masyarakat yang menjadi teladan bagi para pemimpinnya. Meski tak elok, bisa saja terjadi “sang kebo nyusu gudhel”. Bila ini benar-benar terjadi, para pemimpin haruslah mulai belajar untuk menumbuhkan rasa malunya.
Kembali baca dari awal <<